Something i've been writing..
Alita
By:
Athena Syarifa
Alita adalah namaku. Lengkapnya,
Alita Thaliana. Umurku 24 tahun, dan akulah Sang Penjelajah Dunia.
Menjelajah dunia adalah hobiku.
Fotografi adalah mata pencaharianku. Ketika keduanya disatukan, itulah duniaku.
Penjelajahanku dimulai saat aku
duduk di bangku SMA. Orangtuaku memang sangat sering pergi keluar negeri dan ke
mana pun mereka pergi aku mengikuti. Bersama mereka, aku pergi ke Jerman,
Skotlandia, Denmark, Inggris, Rusia, Turki, Maroko, dll. Bersama mereka, aku
jatuh cinta dengan petualangan, panorama, dan keragaman budaya. Karena
kecintaanku kepada ketiga hal tersebut, ada sebuah kewajiban untuk seseorang
yang seberuntung aku untuk memotret dan menangkap segala keindahan ini dari
sudut pandangku untuk diperlihatkan ke orang lain. Berikutnya, aku jatuh cinta kepada fotografi.
Begitu seringnya aku melihat begitu
banyak keindahan pemandangan negeri orang. Saking seringnya, aku mulai
membandingkan dengan ciptaan Tuhan yang lain, yaitu manusia. Setiap aku pergi
ke negeri lain, aku melihat tipe orang yang berbeda dari sebelumnya. Namun,
karena aku terbiasa dengan estetika bumi, aku tak lagi dapat melihat keindahan
dari manusia, bahkan diriku sendiri. Aku mulai percaya bahwa ciptaan Tuhan yang
paling sempurna adalah bumi.
Pada dasarnya, aku memang seseorang
yang penyendiri. Namun karena pemikiranku yang satu ini, aku tak lagi
mendapatkan teman sebagai sesuatu yang diperlukan. Manusia begitu sering
melakukan kesalahan dan kejelekkan di dunia ini. Seringkali aku bertanya apa
yang bisa terjadi jika manusia tidak pernah turun ke bumi? Apa yang seharusnya
terjadi jika Adam dan Hawa tidak memakan buah tersebut? Bumi pasti terlihat
begitu indah, karena hewan, tumbuhan, dan malaikat pasti akan merawat bumi
dengan baik.
Pada tahun ini, ada suatu kejadian
yang merubah segala pemahamanku tentang manusia. Mungkin untuk lebih spesifik,
ada seseorang yang dengan begitu mudahnya merubah pandanganku. Aku bertemu dia
di Australia, tepatnya di Queensland. Aku saat itu beruntung untuk dapat
melihat jajaran koral yang dinamakan The
Great Barrier Reef. Begitu banyak warna dan kehidupan di bawah laut
sampai-sampai aku tidak ingin kembali ke permukaan. Seandainya aku bisa menjadi
ikan dan berpetualang tanpa tujuan di laut biru. Sayangnya tidak bisa.
Ketika petualangan itu selesai, aku
begitu kecewa untuk kembali ke pantai tetapi begitu senang karena telah melihat
keajaiban dunia tersebut. Aku pergi ke sebuah restoran di pinggir pantai untuk
mengisi perut. Sembari menunggu pesanan makanan, aku memandangi pantai serta
memindahkan foto-foto bawah lautku ke laptop-ku.
Aku sengaja memilih tempat duduk yang menghadap ke pantai, sehingga laptop-ku terlihat ke pengunjung
restoran yang lain. Tetapi, saat itu pantai sedang sepi, karena aku sengaja
datang pada hari kerja. Restoran itu juga ikut terasa sunyi. Restoran Italia
ini terlihat begitu kalem dan sunyi. Semua perabotannya terbuat dari kayu
mahoni berwarna coklat tua yang semuanya dipoles sehingga mengkilap dan
mereflesikan lampu kuning yang menyala redup dan berjajar di dinding. Di bagian
dalam restoran, bagian yang jauh dari jendela kaca besar di depan restoran,
terdapat sebuah bar yang dipenuhi berbagai jenis dan ukuran gelas serta
minuman. Di samping bar ada sebuah pintu yang bersambung ke dapur.
Pantai terlihat sepi dan gersang,
tetapi pasirnya yang putih dan berkilau memperlihatkan matahari yang sedang
begitu terik di luar. Lautnya begitu jernih dan bercahaya, ombaknya menarik,
mendorong, menggulung, dan pecah. Buih-buihnya berwarna putih dan membuat suara
ombak yang begitu alami terdengar di telinga.
Selain aku yang ada di restoran itu,
ada sebuah keluarga turis yang kemungkinan berasal dari Timur Tengah, lalu ada
seorang pria tua sedang duduk menikmati kopi dan bacaannya, dan seorang pria
seumuranku yang baru saja aku sadari, kemungkinan besar berasal dari Indonesia,
negaraku. Rambutnya hitam lebat dan terlihat terawat, tubuhnya atletis,
kulitnya coklat, dan bibirnya penuh. Matanya besar dan dilindungi sepasang alis
yang lebat. Dari kulitnya, bisa aku tebak bahwa dia adalah peselancar. Dia
memakai sebuah polo shirt berwarna putih dan celana selutut berwarna krem.
Ketika ia menyadari bahwa aku sedang memandangi, aku segera melempar senyum
ramah sesama orang Indonesia. Dia membalasnya dengan senyum lebar yang terlihat
menggoda. Dari senyumnya aku dapat segera menebak bahwa dia adalah seorang player.
Karena itu, aku menarik diri. Orang
seperti itu pasti tidak ada bagusnya. Aku lebih memilih melihat ombak di luar
yang jauh lebih indah daripada pemandangan di sampingku itu. Tetapi aku dapat
merasakan pandangannya masih ada padaku. Lalu dia beranjak dan duduk di kursi
mejaku. Aku memandanginya dengan heran, lalu kembali ke ombak yang indah sambil
sesekali mengecek laptop-ku. Dia
membawa serta makanannya dan melanjutkan mengunyah makanannya sambil
memandangiku. Dia melipat tangannya di meja, mengunyah, dan melihatku. Kemudian,
makananku datang. Aku lihat dari samping mataku, dia memandangi pelayan wanita
itu sambil tersenyum ramah. Aku benar, dia pasti manusia sosial. Dan akhirnya
dia yang memecah keheningan.
“Dari Indonesia juga?” tanyanya
dengan tangan yang menopang dagunya. Aku jawab dengan sebuah anggukan.
“Udah dari kapan di Australia?”
“Beberapa hari yang lalu,” jawabku
dingin. Aku belum berani bertemu matanya, aku hanya memandanginya dari sudut
mataku.
“Saya udah sebulan di sini. Saya
peselancar. Setiap hari ke pantai buat nunggu ombak yang pas, tapi nggak pernah
ketemu,” jelasnya. Dia begitu terbuka ke orang asing.
“Kamu gila, di sini kan banyak
koralnya,” jawabku sinis.
“Hahaha. Kamu kira saya nggak tahu?
Ada sebuah ceruk kecil di ujung pantai bagian barat. Pantai kecil yang pas dan
tersembunyi di balik tebing tinggi. Sepi dan ombaknya besar-besar semua. Saya
menemukannya di minggu pertama,” jelasnya sambil merasa puas dengan diri
sendiri. Saat itu, aku segera bertemu dengan matanya. Penjelasannya menarikku
untuk bertanya lebih lanjut.
“Pantai itu di mana?”
Dia terlihat kaget karena
ketertarikanku. Tetapi dia melihat sekilas ke laptop-ku yang isinya foto-foto bawah laut, dan aku dapat melihat
dari matanya bahwa dia sedang berspekulasi. “Kamu hanya tinggal mengikuti garis
pantai dan menuju barat, lalu kamu akan bertemu sebuah tebing yang tidak begitu
tinggi. Kamu harus memanjatnya sedikit dan berjalan di atas tebing itu selama
sekitar lima menit. Lalu kamu akan menemukan pantai kecil yang tak kalah
bagusnya, hanya saja pantai itu private
for you only. Bisa membayangkan?” jawabnya sedikit menggoda. “Kamu boleh
mencoba ke sana kapan-kapan. Saya ingin sekali mengantarkanmu ke sana sekarang,
sayangnya saya ada acara setelah ini.”
“Saya tidak pernah memintamu,”
jawabku dingin.
“Akui saja ketertarikanmu. Kamu kan
seorang fotografer. You eat this stuff up
for daily basis, dear. Namamu siapa?”
“Alita Thaliana,” jawabku sambil
memandangi ombak. Aku tidak lagi memandangi matanya yang teduh.
“Saya Arcarya Putra, Arya, ”
jawabnya dengan senyum yang menunjukkan lesung pipit di pipi kanannya. Lalu dia
pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada selamat tinggal, sampai
jumpa, atau ucapan lainnya. He left me
hanging.
Esoknya, aku terlalu letih untuk
bangun dari tempat tidur. Seharian aku habiskan di tempat tidur hotel sambil
mengotak-atik laptop-ku. Aku update tumblr dan instagram-ku, membagi karyaku ke dunia.
Hari berikutnya, aku memutuskan
untuk melihat apakah tempat itu benar-benar ada. Mungkinkah dia hanya
mempermainkanku? Pukul lima pagi aku keluar dari hotelku yang persis berada di
depan pantai. Hari masih gelap dan dingin. Aku mempererat sweater hitamku yang
menutupi kaosku yang berwarna putih dan tipis. Aku lepas sneakers-ku dan menyusuri garis pantai. Aku berusaha mengejar sunrise, karena itu, aku berjalan dengan
tergesa-gesa.
Aku terus berjalan sampai menemukan
sebuah tebing yang mengakhiri pantai. Tebing itu tidak begitu tinggi, tapi
tetap saja sulit untuk dipanjat bahkan dengan sepatu. Permukaan tebingnya
sangat kasar dan berwarna krem yang pucat. Sesampainya aku di atas tebing, aku
dapat melihat ufuk dan menyadari waktuku tidak banyak sampai terbitnya
matahari. Aku bergegas menyusuri tebing, masih berjalan ke arah barat. Tebing
itu mulai menurun dan tanpa aku sadari aku telah sampai ke pantai kecil itu.
Pantai itu berbentuk bulan sabit
yang cukup besar. Ombaknya besar dan menggulung rapi. Pasirnya bersih dan
dikelilingi oleh hutan yang cukup lebat. Aku menyusuri pantai itu sambil
memandangi ufuk yang berada di kananku. Aku duduk di tepi pantai dan memeluk
kakiku. Air pantai terseret dan terkena ujung kakiku, airnya masih begitu
dingin. Aku keluarkan kameraku dari tasnya dan bersiap untuk matahari terbit.
“Akhirnya!” teriak dia dari jauh.
Dia baru saja turun dari tebing dan berjalan menghampiriku. Aku tersentak
ketika dia teriak. Mau tak mau aku tersenyum. “Saya menunggumu di sini kemarin,
tapi kamu nggak datang,” aku hanya membalas dengan mengangkat bahuku. Aku
mengikuti gerakannya dari samping mataku, ketika ia duduk persis di sebelahku.
Dia mengenakan celana berenang pendek dan kaos putih ketat. Dia adalah pria
yang menarik.
Kami tidak perlu menunggu lama untuk
terbitnya matahari. Sang surya menyapa dengan hangat dan aku menyambutnya. Refleks
fotograferku langsung bekerja dan aku langsung menyibukkan diri dengan
mengambil foto-foto matahari terbit. Dari lensaku, aku bisa melihat Arya yang
ternyata sudah meninggalkan sisiku. Dia telah memasuki pantai dan berjalan
menghampiri matahari, mengganggu pemandanganku. Aku terpaksa harus mengikutinya
dan berdiri di sebelahnya untuk mendapat clear
shot. Aku mengambil beberapa foto lagi, namun merasakan kejanggalan karena
Arya begitu diam.
Aku menurunkan kameraku dan beralih
ke pemandangan yang tidak kalah indahnya. Aku dapat melihat air matanya yang
berkilau karena cahaya matahari yang baru datang. Matanya tertuju hanya kepada
bintang raksasa tersebut. Dia tidak hanya diam tapi bisu. Suara yang dapat aku
dengar hanya ombak pasang yang mulai mereda. Kita berdua sudah basah setengah
badan sekarang, aku bersyukur telah ingat untuk memakai baju renang di bawah
kaosku. Refleks fotograferku bekerja lagi dan aku mulai menangkap ekspresinya
dengan kameraku.
Kami berdua lama berdiam diri
menikmati matahari terbit. Ketika matahari sudah menggantung penuh, ia perlahan
menengok ke padaku. Aku menyambut dia yang telah kembali dari lamunannya.
Seakan-akan aku berkata, “Ini dia, Arya yang aku kenal.” Dan aku bahkan tidak
mengenal dia. Namun, aku tidak bisa menyambut kedua mata hangat itu dengan cara
yang lain. Dia berbalik dan mengajakku bersamanya. Dia membuka kaos putihnya
yang cukup basah dan menggantungnya di pohon terdekat. Aku mengikutinya. Lalu
kami berenang seperti tanpa beban di hangatnya matahari pagi.
“Tadi kamu menangis, kenapa?” Aku
tidak bisa memendam rasa penasaranku. Seusai berenang, kami sekarang sedang
mengistirahatkan diri di pasir pantai.
“Aku lemah untuk hal-hal indah
seperti itu, Lit. Sebenernya, gini-gini aku melankolis orangnya,” jawab dia
dengan cengiran konyol. Jawabannya membuatku berpikir. Aku telah menghargai,
menangkap, dan mengabadikan keindahan alam ini, namun aku tidak pernah bisa
menangis. Apakah keindahan berarti begitu dalam baginya? Kenapa dia dapat
menghargai keindahan alam lebih dari aku?
Sejak itu, kami menghabiskan waktu
kami di Australia berdua. Aku mulai tertarik kepadanya, namun selalu ada satu
suara di hatiku yang mengingatkanku dan mewaspadaiku tentang apa yang manusia
dapat lakukan. Alam yang indah tidak akan pernah bisa menyakitimu, tetapi
manusia bisa. Tetapi, selama aku bersama dia, aku mulai sedikit terbuka. Dia
sangat energetik dan ekspresif. Aku dengan kameraku mencintai sifat-sifatnya,
ekspresinya, dan kata-katanya.
Hari ini, hari terakhir dia di
Australia, kami berdua berada dalam suasana yang lebih tegang dari biasanya.
Dia sedang bermain di kamar hotelku, kami baru saja kembali dari makan malam
terakhir kami di Queensland. Lalu dia memutuskan untuk memulai obrolan yang
dari kemarin kami berdua hindari, “Dari sini, aku mau balik ke Jakarta.. Kamu
mau nggak ikut?” tanyanya dengan serius dan hati-hati. Aku tahu dia tahu bahwa
aku akan menolak.
“Buat apa? Nggak ada siapa-siapa
yang menungguku di Jakarta,” jawabku dingin.
“Kamu kan bisa ketemu keluarga dan temen-temenku.
Aku pengen banget ngenalin kamu ke mereka. Kita bisa tinggal di rumahku yang di
Kemang,” bujuknya.
“Aku nggak tertarik, Arya. Aku lebih
baik pergi ke Thailand aja,” jawabku. Aku sedang melepas sepatuku di kaki
tempat tidurku.
“Lit, kamu nggak bisa kabur terus,” Dia
beranjak dan duduk di sebelahku. “Kasih manusia kesempatan, Lit. Kasih aku
kesempatan. Nggak semua orang pengen nyakitin kamu. Manusia indah karena dapat
mengalami seluk beluk emosinya. Kamu sendiri adalah manusia, Lit, dan kamu,
bagiku indah,” jelas dia. Aku kaget dengan pernyataannya. Aku, indah? Tetapi di
dalam hati, aku juga merasakan hal yang sama persis seperti yang dia katakan.
Arya juga indah dengan seluk beluk emosinya.
“Arya, kalau nanti aku tiba-tiba
benci kamu gimana? Kalau nanti kita berantem gimana? Kita mendingan berpisah di
sini aja, daripada nanti akhirnya kita nyakitin satu sama lain,” jawabku dengan
suara tinggi.
“Lit, kamu nggak capek? Mood swing kamu parah banget. I
love you, tapi kadang kamu bisa menyenangkan, lalu kadang kamu bisa begitu dingin,” katanya dengan
lembut. Aku menatap matanya ketika ia menyatakan. “Yes, you heard me.” Dia kecup keningku. Aku mulai menangis.
Kata-kata dia mempunyai kekuatan yang jauh di atas normal untuk mempengaruhiku.
“Takut itu normal, Lit. Apa pun yang
kita akan alami nanti, kamu nggak bersedia buat berusaha untukku?” tanyanya
dengan tatapan yang selalu membuatku berpaling dan melihat ke bawah. Dia
mengambil kedua tanganku di dalam kedua tangannya yang besar dan maskulin. Tapi
air mataku jatuh dan membasahi kedua tangan kami. Aku masih belum yakin. Aku
masih belum berani untuk terjun bebas seperti ini.
Dia menunduk untuk menatap mataku.
Aku menggelengkan kepalaku. “Maaf, Arya,” bisikku.
“I
understand,” jawab dia dengan desah napas yang berat. Pelan-pelan ia
melepaskan tanganku. “Pesawatku berangkat jam 9 pagi besok. Aku punya dua
tiket, satu untukmu. Kalau kamu mau merubah pikiranmu, aku tunggu kamu besok di
airport,” suara dia berat dan sedih.
Lalu dia menunduk dan mengecup pipiku ringan. Air mataku muncul lagi ketika ia
beranjak pergi dan meninggalkan kamarku.
Aku menghabiskan sepanjang malam
memikirkan apa yang sebenarnya aku lakukan. Kepalaku serasa mau pecah dari tangisanku
yang tidak mau berhenti dan flashback waktu
kami di Queensland yang terus berputar di pikiranku. Sampai akhirnya pada pukul
satu malam, otakku menyerah dan aku berhenti berpikir. Aku pejamkan mataku dan
menyerahkan seluruh tubuhku untuk tidur. Namun, ketika pikiranku kosong, hal
berikutnya yang ingin aku lakukan adalah untuk bersama Arya. Aku tidak peduli
di mana dan untuk berapa lama, yang aku inginkan hanya dia. Satu hal yang aku
yakini adalah, tidak ada yang aku takuti ketika aku bersamanya.
Aku bangun dari tempat tidurku dan
mengemas semua bajuku. Aku meninggalkan hotel itu pukul dua pagi dan pergi ke
hotel tempat Arya menginap. Aku mengetuk pintunya, tidak mengharapkan Arya
dalam keadaan bangun. Tetapi, pintu itu terbuka cepat, dan wajah Arya terlihat
letih dan kurang tidur. Sepertinya dia juga menghabiskan sepanjang malam
menangis, merokok dan tidak bisa tidur. Dia terlihat kaget mendapati aku di
depan pintunya. Dia tersenyum sedikit, mengambil tanganku dan menuntunku ke
dalam. Balkon terbuka dan sepertinya aku benar, dia sedang merokok.
“Kamu membuatku merokok lagi,” ucap
dia. Dia berjalan kembali ke balkon yang terbuka. Aku menaruh koperku di
pojokan dan mengikutinya. Udaranya sangat berangin di malam hari. Dia
mengeluarkan satu rokok lagi dan menyandarkan dirinya di balkon, aku meniru
persis di sebelahnya. “Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran?”
“Aku tidak merubah pikiranku, aku
masih Alita yang takut untuk melihat ketidaksempurnaan dari kamu, aku, dan
orang lain. Aku hanya mengikuti apa yang aku mau, dan itu kamu,” ucapku sambil
melingkarkan tanganku di lengannya. Dia menengok dan menatap mataku dengan
lembut. Dia membuang rokoknya dan mendekapku erat dengan kedua tangannya.
“Kalau begitu, kita sebaiknya tidur
sekarang. Harus bangun pagi besok,”ajaknya dengan lembut sambil mengecup
keningku. Dia melepaskan pelukannya dan aku beranjak ke kamar untuk mengganti
bajuku, tetapi dia menggenggam tanganku dan berkata, “thanks for believing in me, Alita.” Dia mencium tanganku dan
melepasnya.
Malam itu, dia tidak membiarkanku
tidur di sofa. Dia mendekapku begitu erat di tempat tidur dan kami terlelap
bersama. Sebelum tertidur, aku benar-benar tersadar bahwa dengan sepenuh hati,
aku tahu aku akan memendam ketakutanku hanya untuk bisa seperti ini, selamanya
bersama dia.
Setelah hari itu, kami berangkat ke
Jakarta berdua. Aku bertemu keluarganya dan dia bertemu keluargaku. Dia
membukakan mataku dalam hal-hal yang sebelumnya aku takuti. Tiga tahun
kemudian, kami masih bersama. Sekarang, kami justru lebih mencintai satu sama
lain, bukan saling menyakiti seperti apa yang aku perkirakan.
Aku masih mencintai travelling. Arya juga mengadopsi hobi
ini karena dia selalu ikut ke mana pun aku pergi. Walaupun dia begitu sibuk
dengan perusahaannya, dia juga sering mengajakku ke Bali untuk mengenalkanku ke
hobinya, yaitu berselancar.
Untuk Arya, aku telah mencoba membuka mataku kepada seluk beluk manusia, aku menyadari bahwa dengan melihat ketidaksempurnaan dari manusia, aku dapat melihat keindahan lingkunganku jauh lebih dalam daripada sebelumnya. Arya mengajarkanku itu, tiga tahun yang lalu, saat dia menangis
melihat matahari terbit di pantai kecil kami di Queensland. Aku sekarang
menangis setiap saat aku melihat keindahan alam-Nya. Aku menangis karena dua
alasan, keindahan alam tersebut, dan kedua, karena selalu ada Arya di
sampingku. Dialah anugerah yang paling aku syukuri dari dunia ini. Dia
menyayangiku dan aku menyayangi dia, dan itu melebihi keindahan mana pun di
dunia ini.
Comments
Post a Comment