A Spring in Lake Tahoe
A Spring in Lake Tahoe
By: Rifa
Musim dingin berlalu dan musim
semi datang menyambut warga Lake Tahoe,
tak semua orang tahu bahwa akan ada seorang pria paruh baya yang akan
menceritakan lika-liku kisah pedihnya sembari merokok di pinggir danau. Dia bukan penduduk lokal, tetapi semua
orang mengenalnya karena kunjungan rutinnya. Pria paruh baya itu ditemani
anaknya duduk di sebuah kursi taman di pelabuhan kecil yang sepi di pinggir Lake Tahoe yang terkenal itu. Hari itu,
mereka telah kehilangan seorang istri dan seorang ibu.
Pria itu sudah sedikit beruban,
tetapi wajahnya menunjukkan kejantanan dan kepercayaan dirinya yang telah ia
bangun dengan pengalamannya. Kedua matanya teduh dilindungi alisnya yang lebat
dan beruban. Walaupun wajahnya sudah menunjukkan keriput, tetapi di balik semua
itu ada sebuah kemapanan dan kesuksesan yang tersirat. Ia adalah seorang businessman yang memanjat dari bawah ke
kalangan atas dengan keringat dan darahnya sendiri. Ia juga seorang ayah yang
bangga dan seorang suami yang sedang bersedih.
Gadis itu baru saja diterima di
universitas ternama di California. Wajahnya
lembut dengan pipi kemerahan tetapi menunjukkan disiplin diri yang luar biasa
serta kepercayaan diri yang dia ambil dari ayahnya. Besok, ia akan wisuda dan
memasuki kehidupan kuliahnya, sayangnya ibunya tidak dapat hadir untuk
menyaksikannya lulus sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Matanya kecil,
lembut, hitam namun bercahaya, menunjukkan kelembutan yang ia dapat dari
ibunya.
Gadis ini ke Amerika dalam
rangka kepindahannya karena telah diterima di University of California. Ayahnya akan meminjamkan rumah keluarga
mereka yang ada di California untuk
keperluan ia kuliah. Namun ayahnya telah ada di New York selama ini, mendampingi istrinya menjalani pengobatan
kanker otak yang telah diidapnya selama 8 bulan. Namun, karena ibunya yang
telah pergi, gadis ini memutuskan untuk pindah lebih awal dan menemani ayahnya
yang sedang berduka.
Sara terlihat sedang membuka
berbagai amplop surat dari ibunya yang terkumpul di sebuah kotak sepatu tua.
Dia memandangi Ayahnya dengan tidak percaya. Ayahnya sedang menghisap rokoknya
sambil memandangi pemandangan Lake Tahoe yang
masih sepi di pagi hari.
“Ayah nggak marah setelah baca
semua surat ini?!” tanyanya dengan emosi.
“Ayah sudah baca semua itu jauh
sebelum ibumu meninggal,” jawab pria itu dengan tenang.
“Ayah tahu orang ini siapa?
Setiap surat ini adalah untuk orang itu dan bukan untuk Ayah. Kasih tahu Sara
siapa orang ini sekarang juga,” perintahnya.
“Kalaupun kamu tahu orangnya,
nggak akan ada gunanya. Orangnya sudah meninggal. Jauh sebelum kami menikah.”
“Kok Ayah bisa nggak marah sih
sama mama? Sara sekarang jadi merasa tidak mengenal mama. Dari surat-surat ini,
keliatannya kita hanya bagian kecil dari hidupnya,” ujar Sara dengan muka asam.
“Udah! Cukup. Kamu jangan
nyalahin ini semua ke ibumu. Ibumu adalah orang terbaik dan penuh kasih sayang
yang pernah ada,” pinta Ayahnya dengan suara tinggi yang pecah karena sedihnya.
“Yaudah, aku salahin orang ini,
pria ini yang merayu mama seenaknya saja.”
“Kamu juga jangan salahin pria
itu. Ayah kenal dia dan kamu akan tahu alasan-alasan ibumu tertarik kepadanya.
Dia adalah sahabat baik bagi Ayah.” Sara memandangi Ayahnya dan terlihat di
ekspresi Ayahnya bahwa ia benar-benar serius dengan apa yang ia katakan.
“Habisnya, aku selalu kira cinta
ayah dan mama itu adalah cinta sejati yang sejati-sejatinya. Bukan kata-kata
yang dengan mudahnya dilempar ke sana sini oleh orang-orang postmodern,”
tukasnya dengan tajam. Ayahnya tersenyum hambar di sebelahnya sambil menyalakan
rokok berikutnya.
“Yasudahlah, mungkin juga sudah
saatnya kamu tahu. Rana tidak pernah mencintai Ayahmu ini,” ucapnya dengan
pahit. Sara sedikit tersentak ketika Ayahnya menyebut nama asli mamanya.
Artinya, Ayahnya sedang sangat berduka sekarang dan merindukan memanggil
mamanya dengan nama aslinya.
“Apa maksudnya? Mama menikahi
Ayah, berarti Mama mencintai Ayah, kan?” Ayahnya menjawab dengan menggelengkan
kepalanya dan tersenyum pahit.
“Itu karena dia sudah kehilangan
cintanya bersama pria itu. Karena itu, mamamu pergi dan berpaling ke Ayahmu,
sahabatnya, sumber kenyamanan pertama
yang dapat ia temukan,” jelas pria itu. Sara memandangi Ayahnya dan melihat
cintanya juga hilang bersama perginya mama.
“Siapa sih pria ini?” tanya Sara
dengan nada menyalahkan.
“Pria ini adalah sahabat Ayah
saat kuliah. Mamamu dan Ayah saat itu sudah bersahabat sejak SD. Kami tidak
pernah berpisah dan selalu ada untuk satu sama lain. Kami bersahabat karena
kami berdua sama-sama datang dari keluarga yang pecah dan rusak. Lalu, pria ini
datang, pria yang kamu bilang begitu beraninya mengambil hati mamamu. Tapi pria
ini tidak hanya berani dalam satu hal itu saja, ia berani mempercayai orang
lain. Ia orang terberani yang pernah Ayah kenal. Pria ini adalah pria dengan
intuisi yang luar biasa. Dia datang dari keluarga yang besar, rukun dan akrab,”
jelas dia dengan kagum yang luar biasa.
“Coba bayangkan orang terbahagia
di planet ini. Yang ada di kepala Ayah adalah pria tersebut. Sekarang coba
bayangkan betapa bahagianya dia ketika bertemu dengan Mamamu. Dia menjadi orang
terberuntung yang pernah ada. Ia mulai mengambil mamamu dari Ayah. Tapi Ayah
tidak pernah sekalipun membenci dia, iri mungkin, tapi benci tidak sama sekali.
Ia juga sahabat Ayah yang paling baik,” pria tersebut berhenti. Cerita ini
membawakan banyak kenangan lama yang terlalu berat baginya untuk diterima di
hari Rana meninggal. Tangan tuanya mengusap sedikit air matanya yang jatuh di
sudut pipinya. Sara tahu bahwa air mata itu adalah untuk pria tersebut.
“Lalu, Ayah sadar bahwa Ayah
mencintai Mama?” tanya Sara. Kata-katanya yang tajam sudah berubah dengan nada
prihatin terhadap Ayahnya.
“Jangan memandangi Ayah dengan
rasa kasihan seperti itu. Tapi, iya, Ayah sadar bahwa selama ini Ayah mencintai
mamamu. Tapi Ayah juga tidak pernah mengharapkan keburukan atas pria itu.
Setahun kemudian, pria itu meninggal karena overdosis. Setelah itu mamamu
benar-benar dalam keadaan yang sangat menakutkan. She was suicidal, Sar. Saat kami menikah, Ayah baru tahu bahwa
tadinya pria itu mengajak Rana untuk bunuh diri dan meminum semua pil itu
bersamanya. Rana menolak dan harus hidup dengan penyesalannya. Ayah selalu ada
di sampingnya pada periode itu saat mamamu sedang depresi.” Mendengar cerita
ini, Sara semakin merinding membayangkan rapuhnya Ayahnya saat itu. Ayahnya
terlihat tertekan dan sedih. Posisi duduknya semakin lesu dan layu. Dia tidak
lagi ayah yang biasa ia kenal. Sara melihat sisi Ayahnya yang rapuh.
“Ayah yakin mau melanjutkan?
Karena aku takut untuk mendengar lanjutannya.” Lalu pria itu menatap anak
gadisnya. Pria itu mengangkat lengannya dan menaruhnya di pundak Sara. Sara
mendekat dan mereka lebih bisa merasakan kehangatan seperti ini.
“Nggak apa-apa. Kita lanjutkan
saja.” Dia mendesah dan melanjutkan ceritanya. “Setahun telah lewat dan mamamu
mulai bisa tersenyum. Dialah wanita yang dapat membuat Ayah menyerahkan
segalanya untuk merawatnya, Sar. Lalu Ayah melamarnya. Awalnya Rana ketakutan
untuk mencoba lagi. Ayah tidak pernah menyerah dan terus berada di sampingnya
walaupun masih belum ada jawaban. Suatu saat dia marah kepada Ayah, ia bilang
bahwa Ayah jahat kepadanya karena Ayah memaksanya untuk mencoba mencintai lagi.
Bahkan saat kata benci itu keluar, Ayah masih ada di sampingnya, mengeluarkan
sebuah janji untuk merawatnya dan menyayanginya seumur hidupnya.” Sara melihat
Ayahnya tersenyum karena sebuah kenangan yang tidak akan pernah ia ketahui.
Kemudian Ayahnya menengok dan
memandangi Sara. Dengan segala kelembutan dan kebahagiaan yang tidak pernah
Sara lihat di muka Ayahnya, ia mengatakan, “Lalu Rana menerima Ayah, Sar.
Mamamu menerimaku, akhirnya.” Ayahnya tersenyum dan memandangi kembali danau
yang luas itu.
“Jadi apakah Ayah mencoba bilang
kalau 20 tahun pernikahan ini, Mama tidak pernah mencintai Ayah?” tanya Sara.
“Mamamu memang tidak pernah bisa
mencintai Ayahmu ini Sar.”
“Walaupun Ayah selalu ada di
samping mama ketika mama dirawat? Bagaimana ketika 20 tahun ini Ayah merawatnya
dengan penuh kasih sayang? Seenggaknya, mama bisa mencoba mencintai Ayah kan
sebagai rasa terima kasih?” Tanpa ada peringatan, pria itu menampar anaknya.
Sara begitu kaget dan memandangi Ayahnya dengan pandangan tidak percaya. Sara
tidak pernah ditampar seumur hidupnya, ia selalu menjadi anak teladan yang
membanggakan orangtuanya.
“Apa ini kesalahan Ayah
mengajarimu untuk menjadi pintar tetapi tidak mengajarimu sopan santun dan cara
untuk menghormati?” Bentakan Ayahnya membawa air ke matanya. Sara marah karena
perlakuan Ayahnya dan ia meninggalkan Ayahnya sendirian dan masuk ke villa
mereka.
Sampai sore, pria itu tidak
meninggalkan tempatnya. Sara mulai khawatir. Begitu sering ia melihat ke luar
jendela untuk memastikan Ayahnya masih di sana. Ketika matahari sudah sangat
pendek di kaki langit, Sara keluar dari villa mereka dan menawarkan Ayahnya
segelas coklat hangat. Ayahnya
menerimanya.
“Maaf Ayah, aku
keterlaluan,”ucapnya ketika duduk di sebelah Ayahnya.
“Kamu salah Sara. Mamamu telah
mencoba mencintai Ayah selama 20 tahun. Hanya itu yang Ayah minta dan perlukan
dari mamamu. Dia tidak perlu melakukan apa-apa, dia hanya perlu berada di
samping Ayah dan Ayah akan menjadi lebih dari bahagia bersamanya.” Pria itu
memandangi anaknya dan tersenyum. “Ayah juga minta maaf.” Sara menutup matanya
ketika Ayahnya memegangi pipi yang tadi ia tampar.
Sara melihat kerapuhan itu lagi
di mata Ayahnya, di gerak-geriknya. Air mata Sara menetes membayangkan Ayahnya
yang telah mengharapkan cinta mamanya selama lebih dari 20 tahun. Ia memeluk
Ayahnya dengan erat.
“Nggak apa-apa kok Sar. I’m fine, now. Ayah bahagia aja sekarang
mamamu bisa beristirahat dan berhenti untuk mencoba, setelah 20 tahun ini. Dia
pasti tenang di atas sana. Dia udah bebas. She’s
liberated.” Lalu Sara benar-benar menangis, sekeras-kerasnya. Ia mencoba
membayangkan perasaan ibunya, 20 tahun mencoba untuk mencintai dan berpura-pura
bahagia ketika sebenarnya ia tersiksa karena telah ditinggalkan oleh cintanya.
Sara mulai berpikir bahwa mungkin inilah yang terbaik untuk mamanya. Mamanya
dapat kembali ke sisi cintanya di atas sana. “Iya, Ayah juga pikir bahwa
mungkin ini yang terbaik untuk Rana. Untuk Mamamu, Sar,” ucap Ayahnya seperti
telah membaca pikirannya.
Hari ini, Sara telah melihat
sisi Ayahnya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ayahnya dapat menangis,
menamparnya, dan tersenyum lembut. Selama ini, Ayahnya adalah sosok yang
disiplin, kuat, percaya diri, mapan, put
together, dan sabar. Nyatanya, Ayahnya mampu memberikan kasih sayang yang
tidak pernah bisa diberikan siapa pun untuk Rana. Ayahnya mampu menunjukkan
kelembutan yang hanya tadinya, hanya bisa ia tunjukkan ke Rana. Sara sekarang
melihat Ayahnya sebagai sosok seorang pria yang cintanya tidak akan pernah mati.
Comments
Post a Comment