Filosofi Bintang
FILOSOFI
BINTANG
Oleh:
Athena Syarifa (Rifa)
Sial, di waktu seperti ini
seharusnya seorang penulis dengan mudahnya mendapatkan inspirasi. Nyatanya,
sudah dua jam aku duduk di cafe ini,
dua gelas cappucinno sudah aku
habiskan, tetapi yang ditunggu-tunggu belum datang juga. Layar laptop-ku masih kosong, aku tidak tahu
apa yang harus ditulis.
Anehnya, pikiranku tetap mengembara
ke mana-mana. Sambil melihat pemandangan musim gugur San Fransisco yang sama sekali tidak membantu writer’s block-ku kali ini. Aku melihat orang-orang asing yang
tidak ku kenal mengenakan baju musim gugur yang tebal sambil menggandeng gitar,
atau anaknya yang berjalan di antara pohon oranye dan kuning yang tertiup angin
serta daun-daun yang berguguran, tetapi pemandangan ini malah membawaku ke masa
kecilku yang jauh berbeda nun jauh di tanah air.
Ironis ya, ketika masa kecil begitu
sering kita bermimpi tentang bagaimana kita saat besar nanti, tetapi ketika
sudah dewasa, begitu sering kita memikirkan masa-masa kecil kita yang masih
sangat carefree hanya karena kangen.
Masa kecilku cukup bahagia. Di umur
kepala tiga ini, seringkali aku melihat ke belakang dan mengenang masa-masa di
mana Nala masih ada dan menemaniku sampai sekarang. Nala adalah teman masa
kecilku. Kami adalah teman satu sekolah sejak taman kanak-kanak. Hidup dia
sangat bahagia sebagai anak kecil, keluarga yang sempurna, rumah yang sederhana
tetapi begitu banyak kenangan bersama kelima kakaknya yang membuat suasana rumah
gaduh tetapi manis. Aku begitu suka jika diajak Nala untuk main ke rumahnya. Aku
lebih banyak berbicara dan bercanda.
Beda ketika di rumah. Sejak umur 5
tahun, ibuku telah meninggalkanku karena penyakitnya. Ayah adalah workaholic yang hanya dapat bertemu aku
di pagi hari. Rumah yang sangat besar dan halaman luas tetapi tidak ada yang
dapat menghiburku. Karena alasan ini, aku begitu sering kabur dari rumah dan
bermain ke taman kompleks bersama Nala. Satu-satunya yang dapat membuatku
bahagia adalah Nala.
Rambutnya keriting berantakan tetapi
aku suka dengan senyumnya. Kulit dia lebih gelap dari kulitku, mungkin karena
dia anak laki-laki yang sering main kotor. Dia mempunyai kepribadian yang lucu
dan menyenangkan. Orang dewasa dan anak lain sangat menyukai sifat dia. Dia
selalu hiperaktif dan mukanya tidak pernah menunjukkan ekspresi cemberut atau
menangis. Tetapi ketika dia berdua denganku, sikap dia malah kalem dan lebih
tenang. Ada sebuah rasa damai yang kami berdua rasakan jika ada satu sama lain.
Kami biasanya mulai mendongeng.
Taman kompleks itu berada di bukit
yang lebih tinggi dari seluruh perumahanku. Taman itu rindang dengan pohon dan
ada sebuah kolam ikan yang cukup besar dengan jembatan kayu di atasnya.
Walaupun tanahnya sudah dialasi aspal, tetapi pohonnya masih bertahan dan
membuat suasana sepulang sekolah semakin teduh. Biasanya setelah bermain di
sekolah dan berlari-larian, kami pergi ke taman tersebut untuk mendinginkan
diri. Di taman itu kami dapat melihat ke bawah dan melihat seluruh perumahan di
bawah. Kelak jika kami sudah remaja, itu adalah tempat kami bertemu setiap
ingin bicara.
Begitulah kehidupan kami semasa
kecil. Kami melanjutkan pertemanan ini sampai kami SMA. Walaupun kami jauh
lebih sibuk, kami tetap mempunyai waktu untuk satu sama lain. Nala juga
mempunyai beberapa pacar begitu pula aku semasa kami SMA. Kami bertemu tapi
tidak lagi bermain, kami mulai membicarakan masalah-masalah kami, pemikiran
kami sampai hari terlanjur malam. Tetapi dengan ini, kami lebih bergantung dengan
satu sama lain.
Dia juga menemaniku di saat Ayahku
meninggal. Aku begitu terpukul, walaupun dia begitu sibuk dengan waktunya
sendiri, tetapi semua yang ia lakukan adalah untuk masa depanku. Perasaanku
lebih ke menyesal karena tidak pernah benar-benar menyayangi beliau. Aku juga
merasa begitu sendiri. Jika ada seseorang dekat yang meninggal, pastilah yang
kita rasakan adalah kesendirian karena telah ditinggalkan.
Suatu saat, yang terus aku ingat
sampai aku dewasa, di taman kompleks kami ditemani suara air dari kolam dan
pecahnya malam.
“Kamu pernah ga membayangkan ke mana
ayah dan ibumu pergi setelah selama ini?” Nala bertanya sambil menyulut sebuah
rokok. Biasa, anak SMA.
“Sejak kecil aku percaya, kalau ibu
berubah jadi bintang. Sampai sekarang pun aku masih percaya, Ayah pasti jadi
bintang,” jawabku. Kami berdua duduk di bench
favorit kami di bawah pohon.
Dia tergelak. “Ternyata, kamu masih
kekanak-kanakan juga ya..,” aku segera melihat mukanya. Dia melihatku dan
langsung berubah menjadi serius. “Tapi emangnya apa yang buat kami mikir kayak
gitu?”
“Filosofinya sihh, bintang itu
selalu ada, siang dan malam. Dia selalu bersinar tanpa pernah redup sekalipun.
Pas siang, mereka hanya tenggelam oleh sinarnya Matahari, si bintang raksasa.
Tetapi saat malam datang, sedikit sekali yang bisa mengapresiasi sinar mereka,
tidak ada yang ingat mereka karena semua orang pasti lelah dan hanya memikirkan
tidur. Begitu pagi datang, banyak orang malah merindukan sinar mereka, di
antara sibuknya hari sekali-kali mereka melihat ke langit entah cari apa,” aku
berhenti.
“Jadi maksudmu, orangtuamu selalu
ada dan menemani kamu sekarang,” tanya dia. Mungkin bingung ketika mencoba
mengkorelasikan.
“Bukan, maksudku malah gini. Ketika
mereka masih hidup, ketika orang-orang tersayang kita masih hidup, mereka ada
tapi tidak kita apresiasi eksistensi mereka. Padahal kita tidak pernah tahu
waktu. Saat mereka mati, kita malah merasa begitu kehilangan. Rasanya ada
begitu banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mereka saat mereka hidup,”
jawabku. Tetapi ketika kulihat mukanya, dia hanya mengangguk sambil menghirup
rokoknya untuk kesekian kali.
“Oooh gitu..,” jawab dia pendek. Aku
makin kesal.
“Kamu sih, hidupmu enak banget.
Keluargamu lengkap, semuanya seperti nggak ada beban.”
“Enak aja, aku punya masalahku
sendiri, tauk.”
Setelah pembicaraan itu, kami tidak
sempat mengobrol lagi. Ada perasaan yang mengganjal, mungkin aku seharusnya
tidak mengejeknya.
Beberapa minggu setelah itu, aku
mendapat kabar bahwa Ayahnya Nala telah bunuh diri karena terlilit masalah
uang. Aku mencoba menelfon Nala berkali-kali tapi dia tidak jawab. Akhirnya aku
hanya SMS untuk bertemu dia taman itu ketika dia siap untuk bicara. Setiap sore
aku menunggu dia, sampai hari ketiga, dia baru berani datang. Dia duduk di
sebelahku dengan begitu kasualnya. Aku kesal dan menonjok bahunya.
“Ow! Buat apaan tuh!”
“Jahat, kamu nggak pernah kasih
kabar apa-apa,”aku nyaris nangis.
“Sorry, keadaan di rumah agak.. ya
taulah,” jawabnya sambil menduduk.
“Kalo soal uang aku bisa bantu kok,
coba Ayahmu bilang ke aku. Pasti ada jalan keluar lain,” jawabku.
“Jangan bikin aku tambah nyesel
dong. Hal yang udah lewat ya biarkan lewat. Kita juga nggak tahu apa-apa, Papa
sama sekali nggak mengeluh atau membagi bebannya ke kita. Aku nggak bisa
bayangin seberat apa bebannya. Apalagi.. ah udahlah,” keluh dia.
“Maaf banget Nal, iya deh, Papamu
udah jadi bintang kok, jadi nggak perlu dipermasalahin lagi,” kataku sambil
melihat ke langit malam.
“Kamu bener yakin dia jadi bintang?
Kira-kira yang mana ya dia? Aku nanti mau jadi yang warnanya putih dan yang
paling besar,” jawab dia sambil mengawang-awang.
“Mungkin Ayahmu yang putih juga.
Ibuku udah pasti yang kuning,” kami tertawa sambil mendongak ke langit.
Anginnya dingin tetapi menyejukkan di malam itu. “Kamu kenapa tiba-tiba pengen
jadi bintang? Kayak pengen mati aja..”
“Yaa, aku cuma mau ngasitau kamu
aja, jadi kamu bakal tau nanti aku bintang yang mana,” jawabnya sambil senyum
dikit. Dia mulai mengeluarkan rokok lagi.
“Siapa yang jamin kamu bakal mati
lebih dulu daripada aku. Udahlah, nggak usah ungkit masalah kematian lagi,”
kalimat ini menyelesaikan percakapan. Aku menemani dia menyelesaikan rokoknya
dan kami mengakhiri malam di rumah masing-masing.
Setahun berlalu, kami hampir lulus.
Ironisnya, kejadian buruk ini malah terjadi sebelum kami lulus. Mungkin sebenarnya
aku sudah merasakan ada sesuatu yang salah. Setiap kali aku tanya dia mau
kuliah di mana, dia selalu mengangkat bahu, atau membalas dengan bercanda.
Sebelum kami wisuda, Nala telah
meninggalkan kami. Ternyata, selama ini dia menyembunyikan fakta bahwa dia
terkena kanker leukimia. Tetapi dia meninggal bukan karena kanker tersebut, dia
telah mengambil nyawanya sendiri, seperti Ayahnya. Ibunya memberitahuku bahwa
Nala telah didiagnosa sebelum Ayahnya meninggal. Semuanya mulai menampakkan
diri. Mereka tidak mungkin menanggung biaya pengobatan yang mahal. Apalagi
setelah Ayahnya meninggal, Nala pasti memikirkan bahwa dia akan merepotkan
keluarganya dengan penyakitnya.
Aku merasa begitu bodoh pada saat
itu. Kenapa aku tidak pernah bertanya kepada Nala? Apakah aku begitu buta? Aku
juga kesal, begitu kesal dengan Nala karena dia tidak melakukan ini dengan
adil. Dia tidak pernah memberitahu sedikitpun tentang penyakitnya. Sejak itu,
di tanggal ia meninggal, aku selalu menyempatkan diri menghabiskan malam di
taman itu sambil melihat bintang Nala. Bintang Nala adalah yang paling putih
dan yang paling besar. Mudah sekali ditemukan di tengah gelapnya malam.
Tidak peduli umur, aku masih percaya
dengan filosofi bintang ini. Aku masih melakukan tradisi itu di tanggal Nala
meninggal. Setiap hari pun, aku menyempatkan diri untuk melihat ke langit dan
mencari Bintang Nala. Walaupun tidak kelihatan, aku tahu dia pasti ada dan
terus bersinar.
Tak terasa, di cafe mungil ini, di kota San
Fransisco, hari sudah menjelang sore. Layar laptop-ku lagi-lagi masih kosong. Aku putuskan untuk menyerah hari
ini, mungkin aku akan menemukan sesuatu di jalan pulang ke loft. Aku tutup laptop-ku
dan pergi dari cafe itu, walaupun
belum ada cerita yang dapat aku buat hari ini, tetapi aku selalu menyimpan satu
cerita itu di hati.
Comments
Post a Comment